Definisi Amar
Amar dalam bahasa berarti perintah. Dalam ushul fiqih amar di definisikan sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu. Meski demikian, kalimat yang menggunakan sighat amar tidak semuanya bermakna perintah bisa saja bermakna doa atau iltimas (permintaan dari satu derajat).
Kata amar dalam Al-Quran maupun sunnah di ungkapan dengan menggunakan sighat amar. Dalam gramatikal bahasa ara arab (sharaf) sighat amar memiliki wazan sendiri yang jumlahnya banyak, misalnya wazan sif’al, uf’ul, af’il, iastaf’il dan lain-lainnya.
Pembahasan amar dalam ushul fiqih tidak mengarah kepada bentuk wazannya tetapi lebih mengarah kepada kandungan hukumnya karena ushul fiqih sendiri adalah metodologi membuat hukum sebagaimana penjelasan yang akan di bahas dalam bab ini.
Kandungan Hukum Amar
Kandungan hukum lafadh dengan sighat amar dalam Al-Qur’an dan hadis tidak semuanya menunjukkan hukum yang wajib, terdapat juga kalimat amar yang menunjukkan hukum sunnah bahkan mubah.
Dari sinilah ulama’ berpendapat, jika kalimat amar dalam Al-Qur’an atau hadis tidak menunjukkan hukum perintah wajib maka hal tersebut bukan amar secara hakikat tetapi amar secara lafadhnya saja.
Wahbah Az-Zuhaili membagi kandungan hukum amar dua macam, yaitu wajib dan majazi sebagaimana penjelasan beriku ini:
A. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Wajib
Kandungan amar yang memiliki dilalah wajib di sebut amar hakiki karena sejatinya kata amar (perintah) pasti kandungan hukumnya adalah wajib.
Mustahil orang memerintah tanpa harus di kerjakan maka dari itu ulama’ mengatakan amar yang memiliki kandungan hukum wajib maka amar tersebut adalah amar hakiki.
Amar yang memiliki makna wajib adalah amar dalam Al-Qur’an atau hadis yang tidak memiliki qorinah (tanda) yang mengarahkan kepada sunnah dan mubah.
Sedangkan menurut al-Ghazali, amar yang memiliki makna wajib adalah ayat Al-Qur’an atau hadis yang di sertai dengan ancaman. Misalnya:
وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ
Artinya: “Jika kamu junub, maka mandilah”. (QS. Al-Maidah: 6)
Ayat ini menjelaskan kewajiban mandi atau tayamum ketika junub.
B. Amar Majazi
Sebagaimana penjelasan sebelumnya amar yang hakiki adalah amar yang bermakna wajib maka amar yang memiliki kandungan hukum selain wajib maka di sebut amar majazi. Amar majazi terdapat dua puluh enam macam, namun Wahbah Zuhaili meringkas amar majazi dalam enam bagian saja, sebagaimana penjelasan berikut ini:
1. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Sunnah
Amar yang bermakna sunnah adalah amar yang tidak di sertai dengan ancaman. Misalnya:
وَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗ
Artinya: “(Apabila) hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka. Berikanlah kepada mereka sebagian harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. (An-Nur: 33).
Ayat ini menjelaskan sunnahnya akad kitab (akad cicilan). Amar dalam akad kitabah ini hukumnya sunnah bagi majikannya karena bagi seseorang di beri kebebasan untuk melakukan tasaruf dalam barang yang ia miliki, bukan wajib.
2. Amar Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Irsyad, (menunjukkan)
Contoh dari amar yang bermakna irsyad ialah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌۢ بِالْعَدْلِۖ
Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS. Al-Baqarah: 282)
Perintah menulis hutang piutang dalam ayat ini hanyalah bentuk irsyad (petunjuk) agar akad hutang piutang di lakukan dengan baik dan terhindar dari kesalahan. Qorinah (tanda) yang menunjukkan amar kandungan hukum irsyad adalah ayat berikutnya:
وَاِنْ كُنْتُمْ عَلٰى سَفَرٍ وَّلَمْ تَجِدُوْا كَاتِبًا فَرِهٰنٌ مَّقْبُوْضَةٌ. فَاِنْ اَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللّٰهَ رَبَّه
Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah”. . (QS. Al-Baqarah: 283)
3. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Mubah
Amar yang bermakna mubah adalah amar yang berada setelah nahi (larangan). Misalnya:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ
Artinya: “Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah. (QS. Al-Jumu’ah:10)
Ayat ini menjelaskan tentang perintah untuk mencari rezeki. Ayat ini memiliki kandungan mubah dengan qorinah amar ini berada setelah ayat larangan melakukan jual beli pada saat adzan Jumat di kumandangkan.
4. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Ta’dib (etika)
Amar yang memiliki kandungan hanya mengajarkan etika yaitu misalnya sabda Rasulullah Saw. kepada Umar Ibnu Salamah berikut ini:
يا غلام! سمّ اللَّه، وكُلْ بيمينك، وكُلْ مما يَليك
Artinya: “Wahai anak kecil bacalah bismillah, dan makalah dari kanan kemudian yang di sisinya”.
5. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Indzar (Menakut-nakuti), contohnya:
وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا لِّيُضِلُّوْا عَنْ سَبِيْلِهۗ قُلْ تَمَتَّعُوْا فَاِنَّ مَصِيْرَكُمْ اِلَى النَّارِ
Artinya: Dan mereka (orang kafir) itu telah menjadikan tandingan bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah (Muhammad), “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ke neraka.” (QS. Ibrahim: 30)
Perintah bersenang-senang bagi orang kafir tujuannya untuk menakut-nakuti mereka karena mereka hanya mendapatkan kesenangan di dunia saja sedangkan di akhirat mereka tidak akan mendapatkan bagian.
6. Amar Yang Memiliki Kandungan Hukum Doa
Amar yang memiliki kandungan makna doa banyak sekali terjadi dalam Al-Quran dan hadis. Contoh amar yang memiliki makna doa misalnya:
رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah: 201)
Apakah Amar Harus di Lakukan Berulang-Ulang?
Apakah amar harus di lakukan berulang-ulang atau tidak? Menurut Jumhur Ulama’, Pertama, amar yang muthlaq yang tidak memiliki qorinah (tanda) untuk mengulangi, maka amar ini tidak wajib laksanakan dengan berulang-ulang, cukup di lakukan sekali saja.
Kedua, amar yang harus di laksanakan secara berulang-ulang yaitu amar yang memiliki qorinah (tanda) harus di lakukan secara berulang-ulang. Qorinah-qorinah tersebut di antaranya:
1. Amar yang memiliki syarat yang menjadi ‘illat dalam terjadi amar (perintah), maka amar ini harus di lakukan berulang-ulang sesuai syarat tersebut ada. Misalnya:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
Artinya: Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci). (QS. Al-Maidah: 6)
Perintah tayamum dalam ayat tersebut di gantungkan dengan syarat sakit dan menemukan air, maka tayamum itu boleh di lakukan jika seseorang itu sakit atau tidak mendapati air.
2. Amar yang di sifati dengan sifat yang menjadi ‘illat sesuatu yang di perintahkan. Maka amar ini juga wajib di lakukan berulang-ulang jika sifat tersebut terjadi kembali. Misalnya:
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ
Artinya: ”Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra’: 78)
Perintah melaksanakan shalat dzuhur itu di sifati dengan tergelincirnya matahari, maka shalat dzuhur harus di lakukan secara berulang-ulang ketika matahari tergelincir.
3. Amar yang berhubungan dengan sebab yang menjadi ‘illat sesuatu yang di perintahkan. Maka amar wajib di lakukan berulang-ulang sesuai sebab tersebut wujud. Misalnya:
اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ
Artinya: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali”. (QS. An-Nur: 2)
Perintah mencambuk 100 kali itu terjadi karena zina. Zina ini yang di sebut sebab terjadi perintah mencambuk. Jadi perintah mencambuk itu harus di lakukan sebab tersebut wujud.
Apakah Amar Harus di Lakukan dengan Segera?
Dalam melaksanakan amar maka harus mengikuti qoyyid yang menyertai kalimat dalam shighat amar sebagaimana penjelasan berikut ini:
Pertama, jika amar datang di sertai dengan qoyyid waktu segera di laksanakan maka hal tersebut harus segera di laksanakan sesuai waktunya. Misalnya puasa ramadhan, puasa ramadhan harus di laksanakan pada itu pula dan tidak boleh mengakhirkan karena puasa ramadhan adalah kewajiban yang harus di lakukan dengan segera.
Kedua, jika amar datang di sertai dengan waktu yang boleh di akhirkan maka amar tersebut boleh di laksanakan di akhir waktunya. Misalnya shalat, maka shalat boleh di lakukan sampai akhir waktu shalat di harus di awal waktunya.
Ketiga, amar yang datang dengan muthlaq yang tidak dengan qoyyid-qoyyid tertentu, maka ulama’ berbeda pendapat. Menurut Jumhur Ulama’ amar yang muthlaq tidak menuntut harus segera di laksanakan segera, kalau pun harus di lakukan dengan segera, hal itu karena di dukung dalil lain yang berkaitan dengannya. Maka dari itu ulama’ berbeda pendapat dalam pelaksanaan haji yang tertera dalam ayat:
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ
Artinya: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. (QS. Al-Baqarah: 196)
Menurut Malikiyah dan Hambali haji harus di laksanakan segera. Tetapi menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah pelaksanaan haji boleh di akhirkan.
Begitu juga perbedaan pendapat terjadi dalam pelaksanaan zakat yang tertera dalam ayat:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
Artinya: “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat”. (QS. Al-Baqarah: 43)
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali zakat harus di laksanakan segera. Tetapi menurut Hanafiyah pelaksanaan zakat boleh di akhirkan.
Refrensi:
1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Mustashfa. Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 2010. 2. Al-Zuhaili, Muhamad Musthofa. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi Al-Islami. Siria: Dar Al-Khair Lithaba’ah Wan Nasyr, 2006. 3. Ghayatu Al-Wushul Fi Syarhi Lubbu Al-Ushul, n.d.
Respon (1)