Definisi Taqlid
Kata Taqlid secara bahasa berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidan, secara bahasa memiliki makna mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.
Taqlid juga dapat didefinisikan sebagai mengikuti pendapat mujtahid tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Seseorang yang berTaqlid seolah-olah menggantungkan hukum kepada seorang mujtahid yang di ikutinya.
Sedangkan menurut istilah, Taqlid menurut mayoritas ulama ushul fiqh (di antaranya Imam Al-Ghazali dan Syaukani), yaitu:
قَبُول قولِ الغير من غير حجة
Artinya: “Mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya”
Sederhananya Taqlid dapat di katakan sebagai seseorang mengikuti salah dari mujtahid atau madzhab tertentu, misalnya di masyarakat di Indonesia mengikut madzhab Syafi’i.
Dalam bermadzhab seseorang harus mengikuti salah-satu dari madzhab tertentu, tidak boleh mengikuti sebagiannya saja dan sebagian yang lain mengikuti madzhab lainnya, apa lagi hanya mengambil pendapat-pendapat maddzhab yang mudah dan ringan saja, hal itu di larang karena dapat semena-semena.
Sedangkan dasar hukum dalam Taqlid adalah firman Allah:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Hukum Taqlid
Hukum Taqlid terdapat dua macam, yaitu Taqlid yang diperbolehkan dan Taqlid yang dilarang atau haram sebagaimana penjelasan berikut ini:
Pertama, Taqlid yang diperbolehkan atau mubah, yaitu Taqlid bagi orang-orang yang belum sampai pada tingkatan sanggup mengkaji dalil dari hukum-hukum syari’at. Sebagaimana yang dikatakan Imam Hasan al-Banna, Taqlid adalah sesuatu yang mubah dan diperbolehkan oleh syari’at, namun meski demikian, hal itu tidak berlaku bagi semua manusia.
Taqlid hanya dibolehkan bagi setiap muslim yang belum sampai pada tingkatan Nazar atau tidak memiliki kemampuan untuk mengkaji dalil dari hukum-hukum syari’at, yaitu bagi orang yang tidak memiliki keahlian dalam mengkaji dalil-dalil hukum, atau kemampuan untuk menyimpulkan hukum dari Al-Quran dan hadis, serta tidak mengetahui ijma dan qiyas;
Kedua, Taqlid yang dilarang atau haram, yaitu bagi orang-orang yang sudah mencapai tingkatan mujtahid atau yang mampu mengkaji hukum-hukum syari’at. Pada bagian yang kedua ini sangat sulit di temukan pada saat ini.
Yang paling mungkin pada saat ini seseorang hanya mencapai derajat mufti. Meski demikian ijtihad tetap di buka jika seseorang dapat memenuhi syarat-syarat ijtihad.
Baca jugu :
- Mazhab Mu’tabar : Penegrtian dan Cara Taqlid Kepada Mazhab
- Syarat-Syarat Ijtihad dan Tahapan-Tahapannya
Kepada Siapa Harus Taqlid
Dalam berTaqlid seseorang harus Taqlid kepada seseorang memenuhi syarat-syarat mujtahid. Artinya seseorang yang hendak Taqlid harus selektif dalam memilih madzhabnya dan tidak boleh sembarangan asal memilih madzhab. Nahdatul ulama’ hanya memperbolehkan berTaqlid kepada empat madzhab yaitu Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Hambali dan Imam Maliki.
Sedangkan Taqlid yang tidak di perbolehkan yaitu: Pertama BerTaqlid kepada seseorang tanpa mengindahkan Al-Qur’an dan Hadis; Kedua BerTaqlid kepada seseorang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad; Ketiga, Taqlid kepada orang yang mengaku berTaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri.
Refrensi:
1. Karimuddin, Muhammad Zuhdi. “Kedudukan Mazhab, Taqlid Dan Ijtihad Dalam Islam.” Al-Qadha 6, no. 1 (2019): 55–65. 2. Misno. “Redefenisi Ijtihad Dan Taqlid.” Al Mashlahah: Jurnal Hukum Dan Pranata Sosial Islam, 2014, 389–402. 3. Nami, ’Iyad Bin. Ushul Fiqih. Riyadh: Al-Mamlakah Al-Arabiyah, 2005.
Respon (1)