Definisi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata juhdi yang bermakna berusaha keras dalam mencari sesuatu hingga mencapainya.
Imam Ghazali mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
وَالِاجْتِهَادُ بَذْلِ الْمُجْتَهِدِ وُسْعَهُ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ بِأَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ
وَالِاجْتِهَادُ التَّامُّ أَنْ يَبْذُلَ الْوُسْعَ فِي الطَّلَبِ بِحَيْثُ يُحِسُّ مِنْ نَفْسِهِ بِالْعَجْزِ عَنْ مَزِيدِ طَلَبٍ
Artinya: Ijtihad adalah seorang mujtahid yang mengerahkan segala kemampuan dalam mencari hukum syari’at. Ijtihad yang sempurna adalah mujtahid yang mengerahkan segala kemampuan diri dalam mencari hukum syari’at sampai ia merasa tidak mampu lagi untuk mencarinya.
Artinya mujtahid ketika melakukan ijtihad maka ia harus mengerahkan segala kemampuannya dalam mencari hukum syari’at sampai ia sudah tidak mampu lagi melakukannya. Ia tidak boleh hanya melakukan setengah-setengah, karena di takutkan ada kekeliruan dalam hasil ijtihadnya apa lagi ia hanya melakukan dengan sembrono, hal itu sangat di larang.
Menurut Abdul Karim definisi ijtihad dapat di lihat dari sisi:
Pertama dari segi sifatnya, maka definisi ijtihad dari sisi ini adalah upaya-upaya untuk menghasilkan dalil-dalil hukum Syari’at.
Kedua dari segi orang yang melakukan ijtihad, maka definisi ijtihad dari sisi ini adalah seorang ahli fiqih yang mengerahkan segala kemampuannya untuk menemukan hukum Syari’at beserta dengan dalil-dalilnya secara terperinci.
Definisi kedua ini senada dengan yang di kemukakan oleh Abdul Karim bin Namlah, menurutnya ijtihad adalah upaya seorang ahli fiqih untuk mencari hukum Syari’at dari dalil-dalil Syari’at dengan menggunakan metode penggalian hukum (istimbatul hukmi).
Yang perlu di garis bawahi, pertama ijtihad hanyalah dalam lingkup hukum Syari’at saja, bukan keilmuan lainnya. Kedua, orang yang melakukan ijtihad adalah seseorang yang Ahli Fiqih yang memenuhi syarat-syarat mujtahid.
Dengan demikian jika di temukan seseorang yang mengaitkan atau menggunakan kata ijtihad dengan usahanya dalam keilmuannya yang bukan ruang lingkup hukum Syari’at maka hal tersebut hanyalah ijtihad secara bahasa bukan ijtihad yang di maksud dalam Syari’at.
Begitu juga jika seseorang mengaku melakukan ijtihad namun ia belum memenuhi syarat-syarat ijtihad maka ijtihadnya hanyalah klaim ia semata bukan ijtihad dalam Islam, atau ia hanya ingin mempermanis bahasanya.
Menurut Abdullah bin Yusuf ijtihad harus memiliki sifat-sifat berikut ini:
- Seorang mujtahid harus menyerahkan segala kemampuan keilmuannya ketika melakukan ijtihad.
- Seorang mujtahid adalah seseorang yang ahli fiqih yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan hukum.
- Ruang lingkup ijtihadnya adalah hukum-hukum Syari’at amaliyah.
- Menggunakan metode dan kerangka berpikir yang sesuai metode penggalian hukum (istimbatul hukmi).
- Menggunakan cara pandang dalil-dalil Syari’at.
Dalil-Dalil Ijtihad
Dalil ijtihad yang pertama yaitu dalil Al-Qur’an , di antaranya kisah Nabi Daud AS. dan Sulaiman AS. dalam memberi hukum kepada umatnya, sebagaimana firman Allah SWT. berikut ini:
وَدَاودَ وَسُلَيْمٰنَ اِذْ يَحْكُمٰنِ فِى الْحَرْثِ اِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ غَنَمُ الْقَوْمِۚ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شٰهِدِيْنَ ۖ فَفَهَّمْنٰهَا سُلَيْمٰنَۚ وَكُلًّا اٰتَيْنَا حُكْمًا وَّعِلْمًاۖ
Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Dan Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu”. (QS. Al-Anbiya’: 78-79)
Di kisahkan dalam Al-Qur’an bahwa Nabi Daud AS. dan Nabi Sulaiman AS. mengeluarkan hukum kepada umatnya dalam permasalahan ladang yang di rusak kambing dengan hukum yang berbeda.
Karena hukum yang di keluarkan oleh keduanya berbeda maka hukum yang di keluarkan oleh keduanya bukanlah berasal dari wahyu tetapi berdasarkan ijtihad mereka berdua.
Dalil ijtihad dari Al-Quran yang lain yaitu:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (Al-‘Ankabut: 69)
Dalil yang kedua yaitu dalil dari hadis, di antaranya:
عن معاذ بن جبل أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما بعثه إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عُرض لك قضاءٌ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله قال: فبسنة رسول الله. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله قال: أجتهد رأيي ولا آلو. قال: فضرب رسول الله على صدره وقال: الحمد لله وفّق رسول رسول الله لما يَرضى رسولُ الله.
Artinya: “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw. mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw. bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada sebuah masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz menjawab, “Dengan Sunah Rasulullah saw.”. Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunah?”. Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw. menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridai Rasulullah saw.”. (Sunan al-Darimi, 168)
Hadis ini adalah hadis yang paling populer yang di jadikan dalil ijma’ karena hadis ini adalah hadis yang secara sarih yang berbicara tentang ijma’ yang di legalkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Hadis lain yang menjelaskan tentang ijtihad ialah hadis berikut ini:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمْ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ وَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara ia berijtihad. Kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, dan bila ijtihadnya salah maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari)
Hukum Ijtihad
Hukum ijtihad terdapat tiga, yaitu fardu a’in, fardu kifayah, sunnah, dan haram. Berikut ini penjelasannya:
1. Fardu A’in
Ijtihad menjadi fardu a’in dalam dua hal: Pertama, iailah ijtihad untuk dirinya sendiri maka hukumnya fardu a’in karena seorang mujtahid tidak boleh taqlid kepada mujtahid lain; Kedua, iailah ijtihad menjadi fardu a’in ketika terjadi kekosongan hukum sedangkan ia hanya satu-satu mujtahid yang ada. Maka ia wajib untuk melakukan ijtihad karena tidak boleh ada kekosongan hukum.
2. Fardu Kifayah
Ijtihad menjadi fardu kifayah ketika terjadi permasalahan baru dan kondisi pada saat itu tidak mendesak serta pada saat itu banyak mujtahid. Maka bagi seluruh mujtahid terkena fardu kifayah untuk melakukan ijtihad, ketika salah satu dari mujtahid sudah melakukan ijtihad maka hukum fardunya hilang.
3. Sunnah
Ijtihad hukum sunnah dalam dua hal: Pertama, ijtihad dalam hukum permasalahan yang baru yang belum terjadi; Kedua, ijtihad ketika di minta fatwa dalam hukum permasalahan yang baru yang belum terjadi.
4. Haram
Ijtihad hukumnya haram dalam dua hal, yaitu: Pertama, ijtihad dalam hukum-hukum yang sudah qoth’i, misalnya ijtihad dalam yang sudah di sepakati seperti ijtihad hukum shalat lima waktu dan kewajiban puasa ramadhan; Kedua, seseorang yang melakukan ijtihad tetapi ia tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Seseorang yang tidak memiliki syarat-syarat ijtihad maka hukumnya haram karena ia bisa mengeluarkan hukum yang sesat serta tidak mungkin menemukan hukum yang benar karena ia tidak memiliki ilmu.
Ruang Lingkup Ijtihad
Dalam melakukan ijtihad maka perlu di ketahui bahwa ada hal-hal yang boleh di ijtihadi serta ada pula hal-hal yang tidak boleh di ijtihadi. Hal-hal yang tidak boleh di ijtihadi adalah qoth’iyus tsubut dan qoth’iyud dilalah.
Qothiyuts tsubut adalah hukum yang sudah di sepakati ketetapannya. Qothiyuts tsubut ini cuma ada dua yaitu Al-Qur’an dan hadis mutawatir.
Maksudnya adalah Al-Qur’an sudah di yakini bahwa itu memang benar-benar dari Allah dan hadis mutawatir adalah suatu dalil yang di yakini benar-benar dari Rasulullah Saw. Nama lain dari Qotiyuts tsubut adalah qoth’iyul wurud.
Sedangkan qot’iyud dilalah adalah hukum yang sudah diyakini kebenarannya karena semua ulama’ sepakat atas hukum tersebut.
Sedangkan hal-hal yang masih boleh di ijtihadi yaitu:
- Nash Qothiyuts Tsubut Wa Danniyud Dilalah
Nash Qothiyuts Tsubut Wa Danniyud Dilalah adalah Al-Qur’an dan hadis mutawatir yang memiliki hukum dhanni. Contohnya:
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ
Atinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’ ” (Al-Baqarah : 228)
Ayat ini adalah penetapannya adalah qoth’i karena tetapi hukum yang di kandungnya masih dhanni, yang mana dalam penafsirannya masih terjadi khilaf. Pada kata tsalasata quru’, kata quru’ memiliki dua makna memiliki dua makna, yaitu haid dan suci. Untuk mengambil salah satu makna tersebut maka harus ijtihad.
- Nash Dhanniyuts Tsubut Wa Qothiyud Dilalah
Nash Dhanniyuts Tsubut Wa Qothiyud Dilalah adalah hadis ahad yang memiliki dilalah qoth’i seperti contoh:
في كل خمس من الإبل شاة
Artinya: Dalam setiap lima unta wajib zakat satu kambing.
Hadis ini dalam kandungan hukumnya adalah qoth’iyuts dilalah, artinya hadis hanya memiliki satu penafsiran yaitu wajib zakat jika seseorang sudah memiliki lima unta. Tetapi dalam penetapannya adalah dhanni tsubut karena hadis ahad. Maka dari itu masih di buka ruang ijtihad dalam sanadnya.
- Nash Dhanniyuts Tsubut Wa Dilalah
Nash dhanniyuts tsubut wad dilalah adalah hadis ahad. Dalam hadis ahad masih di buka ruang ijtihad dalam kandungan hukum dan penetapan sanadnya. Contohnya:
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
Artinya: Tidak sah shalatnya seseorang yang tidak membaca fatihah.
Hadis secara kandungan hukum dan sanad masih memiliki hukum dhanni. Memiliki dilalah dhanni karena masih khilaf dalam menafsirkannya. Syafi’iyah menafsirkan tidak sah shalatnya seseorang yang tidak membaca fatihah sedangkan Hanafiyah menafsirkan tidak sempurna shalatnya seseorang yang tidak membaca fatihah. Oleh karenanya hadis ini masih memiliki dilalah dhanni.
Sedangkan dalam penetapannya hadis ini masih dhanniyuts tsubut, diduga dari Rasulullah Saw. karena masih hadis ahad.
- Permasalahan Yang Belum Dalam Ada Hukumnya Dalam Nash (Al-Qur’an dan Hadis) dan Ijma’
Selanjutnya yang boleh di ijtihadi adalah permasalahan-permasalahan yang belum ada hukum dalam Al-Qur’an , hadis dan ijma’. Misalnya permasalahan Al-Qur’an Aplikasi apakah masuk dalam katagori mushaf apa tidak, bunga bank dan inflasi apakah masuk bagian riba , pencurian data dan lain-lainnya. Hal ini membutuhkan ijtihad baru untuk memberikan solusi terhadap permasalahan yang ada. Pada permasalahan ini masih di buka ruang ijtihad dengan menggunakan metode Qiyas, Istihsan, Qoul Sahabi, Maslahah Mursalah, Istishhab, Syar’u Man Qoblana, ‘Urf, dan Sa’dudz Dzari’ah.
Refrefsi:
1. Abdul Karim Bin Namlah. Al-Muhadzab Fil Ilmi Ushulul Fiqih Al-Muqaran. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyid, 1999. 2. Al-Ghazali, Abu Hamid. Mustashfa. Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 2010. 3. Al-Zuhaili, Muhamad Musthofa. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi Al-Islami. Siria: Dar Al-Khair Lithaba’ah Wan Nasyr, 2006. 4. Asy-Syaukani. Irsyadu Al-Fuhul. Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1999. 5. Hasan, Muhammad Bin Husain Bin. Ma’alim Ushul Fiqih. Daru Ubnul Juzi, n.d. 6. Yusuf, Abdullah Bin. Taisir Ilmu Ushul Fiqih. Bairut Libanun: Muassisah Ar-Rayan, 1997.