Example 728x250
Ulumul QuranUncategorized

MUTASYABIH

82
×

MUTASYABIH

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Penulis: Zahrotul Mahfuzhoh, Mahasiswa IPS 2023 IAIN Ponorogo

Media Al Qur’an – Istilah mutasyabih berasal dari kata tasyabaha yatasyabahu-tasyabuh, oleh para ahli Bahasa dipahami sebagai kata yang mengandung arti musyarakah (persekutuan makna) baik yang menunjukkan arti mumatsalah (kemiripan atau kesamaan) maupun musyakalah (ketidak jelasan) yaitu yang mengarah hingga ketidakjelasan makna yang dimaksud. Mutasyabih dalam bahasa Indonesia berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah adalah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kesamaan diantara keduanya secara nyata maupun abstrak. Maka, maksud dari firman Allah dalam surah Al-Baqoroh ayat 25 adalah, sebagian buahbuahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa hakikat. Jika demikian, istilah isytibah dan tasyabuh sebenarnya memiliki kesamaan bahkan kesamaan maksud. Artinya, dalam tradisi Arab jika mereka tidak paham atau tidak jelas mencakup perbedaan masalah, masalah itu kurang jelas atau masalah tersebut rumit atau sulit dipahami. Sedangkan mutȃsyabih menurut istilah ulama adalah kata yang sama namun berbeda maknanya. Ada juga yang mengatakan, mutasyabih adalah sesuatu yang kita perintahkan untuk mengimaninya. Az-Zarqani membagi ayat-ayat mutasyabuhat menjadi tiga macam:

  1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai pada maksudnya. Seperti pengetahuan tentang dzat Allah dan hakikat sifat-sifatnya, seperti pengetahuan tentang waktu berhenti dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman dalam surah alAn’am:59 yang artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci kunci semua yang gaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri”.
  2. Ayat-ayat yang semua orang dapat mengetahui maksudnya melalui penelitian dan Seperti ayat-ayat mutasyabahat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, dan seumpamanya. Allah berfirman dalam surah an-Nisaa’:3 yang artinya “dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi”.
  3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tentu Hal inilah yang diisyaratkan nabi dengan doanya bagi Ibnu Abbas: “YaTuhanku, jadikanlah dia seseorang yang paham dalam agam, dan ajarkanlah kepadanya takwil.” (HR.Bukhari).

Secara lebih rinci Al-Asfahani juga membagi mutasyabihat menjadi tiga macam: pertama, mutasyabihat dari segi lafazh; kedua, mutasyabihat dari segi makna, seperti sifat-sifat Allah. sifat-sifat hari terhenti yang tidak mungkin tergambarkan hakikatnya dalam pikiran manusia.

ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur‟an secara rinci disebabkan oleh tiga hal yaitu: kesamaran lafal, kesamaran makna dan kesamaran pada lafal dan makna.

  1. Kesamaran pada lafal Sebab kesamaran pada lafal ini ada dua macam, yaitu:
  2. Kesamaran pada lafal mufrad

Kesamaran pada lafal mufrad (lafal yang belum tersusun dalam kalimat) maksudnya yaitu terdapat lafal-lafal mufrad yang artinya tidak jelas, baik disebabkan lafalnya yang gharib (asing) atau musytarak (bermakna ganda). B. Kesamaran dalam lafal murakkab

Kesamaran dalam lafal murakkab itu disebabkan karena lafal-lafal yang murakkab(lafal kalimat yang disusun dalam kalimat) itu terlalu ringkas, terlalu luas atau karena susunannya kurang rapi.

Kesamaran pada makna ayat

Kesamaran itu karena makna dari lafal-lafalnya tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia. Contohnya seperti makna dari sifat-sifat Allah, sifat Qodrat Iradatnya, mauupun sifat-sifat lainnya. Dan termasuk juga dari ihwal hari berhenti, kenikmatan surga, siksa kubur dan lain sebagainya.

Kesamaran pada lafal dan makna ayat

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah ayat-ayat mutasyabih dapat diketahui oleh manusia atu tidak, atau hanya Allah yang mengetahuinya. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan cara membaca. juga ayat-ayat mutasyabih timbul karena sifat yang mujmal (global) dan tentunya memerlukan takwil. Di sisi lain sebagian besar ulama berpendapat, bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak diketahui takwilnya kecuali Allah. Sementara orang-orang yang berilmu akan berhenti pada kalimat, “dan orang-orang yang berilmu mendalam”, kalimat tersebut mengindikasikan para ulama ada yang mengetahui takwilnya.

Untuk mencari jalan tengah antara ulama yang berpendapat bahwa ayat mutasyabih bisa ditakwikan dengan ulama yang membolehkan takwil, oleh Raghib al-Asfahani mengambil jalan tengah berdasarkan pembagian ayat mutasyabih menjadi tiga bagian. Pertama, ayat yang sama sekali tidak dapat diketahui hakikatnya. seperti tentang waktu kiamat dan hal-hal ghaib lainnya seperti dalam surat al-An’am ayat 59 yang artinya : “Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Kedua, ayat-ayat yang setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabih yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan dan seumpamanya. Seperti Qs. an-Nisa ayat 3 yang artinya : “Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Ketiga, ayat-ayat mutasyabih yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan semua ulama. Maksudnya yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi hati orang-orang jernih jiwa dan mujtahid.

Menurut pandangan Subhi As Shalih, ia membedakan pendapat para ulama dalam dua madzhab:3

  1. Madzhab Salaf, yaitu orang orang yang mempercayai dan meyakini sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Oleh karenanya mereka disebut mufawidah atau tafwid. Secara umum demikian penafsirannya madzhab salaf dalam memehami ayat-ayat Kemudian dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli dan naqli.
  2. Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil dengan makna yang sesuai dan baik untuk zat Allah. Oleh sebab itu mereka disebut muawwilah atau madzhab Seperti mereka memaknakan

istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya. Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat.

Selain dua madzhab di atas, masih ada madzhab ketiga seperti yang dikemukakan oleh as-Suyuthi bahwa Ibnu Daqiq berpendapat jika takwil itu dekat dari bahasa Arab, maka tidak dipungkiri dan jika takwil itu jauh maka kita tawakkuf (tidak memutuskannya). Jadi kita meyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari sesuatu yang tidak baik bagi-Nya. Seperti sesuatu yang lafal maknanya nyataserta bisa dipahami dari percakapan orang Arabkita terima yang demiikian tanfa tawakkuf.

Sementara itu, Al-Jabiri menjelaskan bahasan dalam mentakwilkan ayat ayat musykil atau sulit dipahami tersebut dengan dua cara. 4 Pertama, yakni dengan siyaq, yaitu memperhatikan konteks teks pembicaraan suatu ayat dalam al-Qur‟an. Konteks di sini maksudnya memperhatikan tema pembahasan. Kedua, yakni dengan asbab an-nuzul agar dapat mengetahui konteks keadaan, baik persoalan sosial hingga politik, ayat tersebut ketika diturunkan. Al-Jabiri dalam hal ini ingin menghindari bias ideologi dalam memahami al-Qur’an seperti.

KESIMPULAN

mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas. ayat-ayat mutasyabuhat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai pada maksudnya, Ayat-ayat yang semua orang dapat mengetahui maksudnya melalui penelitian dan pengkajian, Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tentu saja. ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur‟an secara rinci disebabkan oleh tiga hal yaitu: kesamaran lafal, kesamaran makna dan kesamaran pada lafal dan makna. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah ayat-ayat mutasyabih tidak dapat diketahui oleh manusia atau hanya Allah yang mengetahuinya. Perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh perbedaan cara membaca. juga ayat-ayat mutasyabih timbul karena sifat yang mujmal (global) dan tentunya memerlukan takwil. Di sisi lain sebagian besar ulama berpendapat, bahwa ayat-ayat mutasyabih tidak diketahui takwilnya kecuali Allah. Menurut pandangan Subhi As Shalih, ia membedakan pendapat para ulama dalam dua madzhab yaitu: pertama, Madzhab Salaf, yaitu orang yang beriman dan meyakini sifat-sifat mutasyabih dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Dan oleh karena itu mereka disebut mufawidah atau tafwid. Secara umum demikian penafsirannya madzhab salaf dalam memehami ayat-ayat mutasyabih. Kemudian dalam aplikasinya mereka menggunakan argumen aqli dan naqli. Kemudian yang kedua Madzhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil dengan makna yang sesuai dan baik untuk zat Allah. Oleh

oleh karena itu mereka disebut muawwilah atau madzhab takwil. Seperti mereka memaknakan istiwa dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya. Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat.

REFERENSI

Anshori, Khusnan M.Ulinnuha, 2014. Ulumul Qur’an kaidah-kaidah memahami firman Allah. Jakarta: Rajawaliper.

Turmuzi, Muhamad, 2021. Studi Ulumul Qur’an: Memahami kaidah muhkammutasyabih dalam Al-Qur’an. Jurnal Al Wajid, Vol 2, No 2.

Miftahur Rahman, Miftahur, 2018 . Konsep Muhkam dan Mutasyabih dalam al-Quran menurut Muhammad Abid Al-Jabiri. Jurnal Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 12 No.1.

 

 

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.