Penulis: Fayza Audrya Prastoko, Mahasiswa IPS 2023 IAIN Ponorogo
Al-Qur’ann Media – Arti Nasikh wa al-MansukhNasikh mempunyai dua pengertian, yaitu secara etimologis (linguistik) dan juga ditinjau dari arti kata Nasikh secara terminologi yang dijelaskan oleh Fiqih (Fuqaha) yaitu. H. Nasikh adalah “rof’u as syaari hukman syar’iyyan bi biditen syar”. Iyyin mutaraakhin “anhu” artinya “penghapusan (penghilangan) hukum syariat (sebelumnya) serta bukti syariat terkini melalui syari” (Allah Swt). Pencabutan Syari’at berarti keberlangsungan praktik UU terhapuskan oleh praktik hukum terbaru yang berlaku.
Rukun Dan Syarat Nasikh wa al-Mansukh
Setelah mensistematisasikan penafsiran dalam ilmu hukum, maka hubungan antar norma hukum harus diperhatikan dengan cermat agar tidak timbul konflik antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain. Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa rukun dalam “Nasikh wa al-Mansukh”, yaitu. H. Kolom terdiri dari:
- Adat Nasikh adalah pernyataan yang menegaskan telah dicabutnya suatu undang-undang.
- “Nasikh”, yaitu. H. Undang-undang/pernyataan atau ayat yang bersifat “pencabutan” pendapat atau undang-undang yang asli atau yang sudah ada.
- Mansoukh adalah undang-undang atau kalimat yang dihapuskan, dicabut atau dialihkan keberadaannya.
- Mansukh ‘anh, artinya rakyat yang harus menanggung beban hukum. Selain syarat-syarat yang terdiri dari empat hal berikut:
- Mansukh (kaidah hukum yang dihapuskan atau dicabut) harus berbentuk hukum syara. Yang dimaksud dengan “hukum syara” adalah peraturan yang berasal dari Allah SWT dan ditetapkan untuk mengatur setiap tindakan atau perilaku Mukallaf baik berupa kewajiban, Sunnah, Haram, Makruh atau Mubah. Artinya Mansukh tidak timbul dari hukum akal atau hukum buatan manusia
- Nasikh (argumentasi yang menghilangkan atau meniadakan) untuk sementara harus dijauhkan dari Mansukh (argumentasi hukum lama). Nasikh ini juga harus berupa dalil-dalil menurut syariat, Al-Quranul Karim, Al-Hadits, Qiyas atau Ijma.
- Kalimat baru (Nasikh) dan kalimat lama (Mansukh) harus mempunyai pertentangan yang nyata (kontradiksi).
- Sifat Nasikh (yang dihilangkan atau digantikannya) adalah mutawattir. Sebab suatu putusan yang akhirnya terbukti keabsahannya hanya dapat diganti (ditolak) dengan undang-undang yang juga akhirnya terbukti.
Dalam Nasakh terdapat syarat-syarat yang harus diketahui, yaitu:
- Hukum Mansūkha adalah hukum Shara
- Dalil penghapusannya adalah khitāb
- Khitab yang dicabut atau dicabut haknya tidak terikat jangka waktu tertentu (terbatas).
Syarat-Syarat Nasikh Mansukh
Menurut al Qaththana, syarat-syarat berikut ini wajib dalam Nasakh: Pertama, hukum yang dihapuskan adalah hukum Siaria. Kedua, dalil penghapusan adalah khotbah Syar’i yang mengikuti khotbah yang hukumnya dihapuskan. Ketiga, khotbah yang dihapuskan atau ditiadakan tidak terikat secara hukum (terbatas) pada jangka waktu tertentu.
Pembagian Nasikh wa al-Mansukh
Nasakh terbagi menjadi empat kategori dalam kaitannya dengan Nasakh antara Al-Quran dan Sunnah, yaitu:
- Al-Quran dengan Al-QuranArtinya hukum atau tema yang semula ditetapkan dalam Al-Quran diganti (dihilangkan) dengan tema Al-Quran. Mengenai naskah ini, peneliti berbeda pendapat apakah sebaiknya diterima atau tidak.
- Al-Quran dengan As-SunnahArtinya, hukum itu semula terdapat dalam dalil-dalil Al-Quran, kemudian diganti/dihilangkan dengan dalil-dalil Sunnah. Nasakh Syekh Mann ini terbagi menjadi dua bagian:atau. Penghapusan Al-Quran dengan Sunnah Ahad (Ahadiyah) Namun sebagian besar ulama menolak kebenarannya dengan alasan Al-Quran bersifat mutawatir dan dipercaya sepenuhnya, sedangkan Sunnah Ahad hanya bersifat prasangka atau asumsi. Oleh karena itu, tidak boleh meniadakan sesuatu yang sudah diketahui sifatnya (ma’lum) atau menggantinya dengan sesuatu yang maznun (dugaan). Nasakh QuranM dengan Sunnah Muttawatiroh Ketiga pemimpin/imam sekte tersebut yaitu Imam Malik, Abu Hanafi dan Imam Ahmad mempunyai pendapat yang sama, yaitu memberikan hak mubah kepada nasakh ini dengan syarat kedua alat bukti tersebut adalah wahyu.
- As-Sunnah dengan Al-QuranMakna dari pembatalan ini adalah hukum/argumentasi yang berdasarkan dalil-dalil Sunnah kemudian diganti (disalin) dengan dalil-dalil Al-Qur’an.
- As-Sunnah dengan As-SunnahArtinya, hukum Syara’ yang semula berdasarkan kesaksian As-Sunnah, kemudian juga batal (dicabut) oleh kesaksian Syara’ As-Sunnah.
Bentuk-Bentuk, Jenis-Jenis, dan Macam-Macam Nasikh wa al-Mansukh
Pada bagian rujukan dan hukum, sebagian besar ahli agama membagi Nasakh menjadi tiga kategori, yaitu:
- Penghapusan seluruh peraturan perundang-undangan dan naskah terkait.
- Hanya undang-undang/peraturannya saja yang dihilangkan dan teksnya tetap ada.
- Kerugian hanya menimpa teks/bacaan sepanjang undang-undang tersebut masih berlaku.
Jenis-jenisnya adalah:
- Nasakh al-Quran dengan Al-Quran. Misalnya saja ayat tentang “Vidualitas yang berlangsung selama empat bulan sepuluh hari”. Sepuluh
- Penghapusan Al-Quran dengan Sunnah:atau. Nasakh al-Quran dengan hadis hari minggu. Namun Jumhur al-Ulama sepakat hal tersebut tidak akan terjadi karena Al-Qur’an bersifat mutawatir. Penghapusan Al-Qur’an dengan Hadits Mutawatir. Penangguhan jenis ini disetujui oleh Malik, Abu Hanifah dan Ahmad.
- Nasakh al-Sunnah dengan Al-Quran, hal ini diperbolehkan oleh Jumhur karena permasalahan yang dihadapi Bayt al-Maqdis dibenarkan oleh Sunnah dan tidak ada dalilnya dalam Al-Quran.
- Nasakh Sunnah Ada empat bentuk Sunnah dalam hal ini, yaitu: Pastor Nasakh mutawatir dari mutawațir Nasakh Minggu demi Minggu Nasakh Ahad dengan Mutawatir mati Nasakh mutawatir dengan hari Minggu. Tiga bentuk pertama diperbolehkan, bentuk keempat terjadi dalam pertentangan pendapat.
Macam-macamnnya adalah:
Menurut al-Zarkashi, ada tiga jenis Nasakh, khususnya yang berkaitan dengan tajwid (pengajian) dan hukum.
- Nasakh tentang bacaan dan hukum, 14, d. H. Membaca dan menulis ayat tersebut, sudah tidak ada lagi, termasuk hukum pengajarannya yang telah dihilangkan dan diganti dengan hukum yang baru. Misalnya penghapusan ayat larangan menikahkan orang tua tunggal yang menyusui karena kedua ibunya menyusui sepuluh kali dan hanya lima kali.
- Teks undang-undang tersebut tidak memerlukan bacaan15, artinya tulisan dan bacaan tetap ada dan dapat dibaca, sedangkan isi hukumnya telah dihapus atau tidak dapat diamalkan. Misalnya, surat al-Baqarah ayat 240 menyatakan bahwa istri yang diceraikan suaminya harus melakukan iddah selama satu tahun dan tetap berhak atas nafkah dan tempat tinggal selama iddah satu tahun tersebut.
- Menasakh membaca ayat tanpa membaca hukumnya. Artinya, ayat tertulis tersebut dihapus pada saat undang-undang tersebut masih berlaku.
- Pemutaran dengan dan tanpa penggantian:Secara keseluruhan, keberadaan syariat ini membuktikan bahwa syariat Islam merupakan syariat yang paling sempurna yang menghapuskan syariat sebelumnya. Karena hukum Syariat Islam berlaku di segala situasi dan kondisi, maka keberadaan Nasakh adalah demi kesejahteraan masyarakat yang perlu dilindungi.
- Pencabutan tanpa penggantian Ada suatu undang-undang yang dicabut, tetapi tidak ada undang-undang lain yang disahkan selain perubahan ketentuan-ketentuan hukum.
- Ganti dengan alternatif yang berkelanjutan Nusakh tidak hanya menghapus ketentuan tersebut tetapi juga menetapkan undang-undang baru yang menggantikannya. Penggantiannya seringkali seimbang atau konsisten dengan ketentuan yang dihapusnya. Misalnya Nasakh shalat menghadap Bayt al-Muqaddas yang diarahkan ke Bayt al-Haram (Ka’bah).
- Penghapusan pengganti yang paling serius, misalnya penghapusan tahanan rumah (terhadap perempuan yang berzinah).
- Dibatalkan dengan pengganti yang lebih ringan,
Panduan Nasikh wa al-Mansukh
Gagasan Nasikh wa Mansukh bagi para ulama khususnya para ahli tafsir, bidang kajian Ushul dan bidang Fiqih tentu memiliki penerapan dan manfaat yang terbilang langka. Wawasan digunakan untuk menghindari kehilangan jejak hukum.
Berikut cara mencari petunjuk dalam “Nasikh dan Mansukh”:
- Mendapat keterangan/penjelasan yang jelas dari Nabi SAW.
- Ayat Nasikh dan Mansoukh diterima umat.
- Perlu juga diperjelas bahwa pembukaan/pendahuluan dan penutup/argumen pasca didasarkan pada sejarah. Naskh tidak dapat ditentukan dari pemikiran/penelitian para mujtahid tanpa kutipan atau komentar otentik dari para penerjemah, atau karena ayat-ayat tersebut mengandung informasi konvensional tentang salah satu perawi yang terlambat masuk Islam. Ini tentang penemuan yang menarik dan bersejarah.
Hikmah Nasikh wa al-Mansukha.
Ketika narasi Nasakh muncul dalam Al-Qur’an, banyak ulama yang menyatakan bahwa hikmah dapat diambil darinya, antara lain:
- Hal ini membuktikan adanya konsep Rububiyyah, karena peniruannya dapat menunjukkan bahwa hukum Islam dapat diubah dan ditegakkan atas kekuasaan dan keesaan Tuhan.
- Sebagai bukti, hendaknya dijelaskan secara jelas kepada kita kelompok masyarakat mana yang akan mereka pilihmengikuti hukum Syariah atau memutuskan untuk tidak melakukannya.
- Menginginkan kebaikan dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan hamba dalam norma-norma tertentu demi kebaikan umat. Padahal, jika Nasakh bergerak ke undang-undang yang lebih ketat, pasti ada peningkatan pahala, sedangkan jika Nasakh bergerak ke undang-undang yang lebih lunak, pasti ada keringanan.
- Wujud kepedulian dan kecintaan Allah terhadap kesejahteraan hamba-hamba-Nya yang menjadi tujuan utama keberadaan hukum agama Islam Rahmatan lil ‘Alamin.
- Hal ini dapat meningkatkan tingkat keimanan kita kepada Allah SWT terhadap peristiwa apa pun yang terjadi di dunia ini dengan izin-Nya.
Hal-hal yang telah rusak Nasakh
hanya muncul dalam perintah dan larangan yang diungkapkan dengan jelas dan tegas, atau dalam ungkapan Khabar (pesan) yang berarti “Amr (perintah) atau Nahy (terlarang)”. Cara bertemu Nasikh dan Mansukh:
- Kesaksian yang kuat dari Nabi atau Para Sahabat
- Kesepakatan di antara orang-orang bahwa ayat ini adalah Nasikh dan ini adalah Mansukh.
- Mengetahui apa yang terjadi sebelum dan sesudahnya berdasarkan cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Rahmalia Anita , Pramadya Putra Ridho. 2022. Nasikh wa al-Mansukh. Ejournal.iainu-kebumen.ac.id.
Dainori Dainori. 2019. Nasikh Mansukh dalam Studi Ilmu Alquran. Jurnal.instika.ac.id.
Hadi Abdul. 2016. NASIKH-MANSUKH IN AL-QUR’AN. Journal.mahadalyalfithrah.ac.id.