Syarat- Syarat Ijtihad
Syarat-syarat ijtihad adalah syarat-syarat yang harus di miliki oleh seorang mujtahid sehingga ia memiliki kompetensi mujtahid dan ijtihadnya benar. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut:
1. Menguasai Ayat-Ayat Ahkam Beserta Ilmu Tafsirnya
Mujtahid harus mengetahui dan memahami ayat-ayat ahkam (ayat-ayat hukum Syari’at) beserta penafsirannya. Ayat ahkam tersebut berjumlah lima ratus ayat. Mujtahid tidak cukup hanya mengetahui ayat-ayat ahkam saja ia juga harus mengetahui ilmu tafsirnya.
Ilmu tafsir yang di maksud adalah ilmu nahwu, sharaf, ilmu dan kaidah tafsir, ilmu balaghah, asbabun nuzul dan keilmuan tafsir lainnya. Dalam kaitannya istimbatul hukmi dari ayat-ayat hukum ulama’ sudah menyusun metodologinya, metodologi itu di sebut dengan ushul fiqih.
Menurut Wahbah Az-Zuhaili seorang mujtahid tidak harus mengetahui keseluruhan ayat Al-Qur’an , ia juga tidak harus hafal, ia cukup mengetahui tempatnya saja sehingga ia dapat mengambil rujukan dan dapat menjadinya dalil ketika ia membutuhkan.
Baca juga:
- Ijma’ : Definisi, Contoh, Syarat, Rukun, dalil, dan Hujjahnya
- Syarat-Syarat Ijtihad dan Tahapan-Tahapannya
2. Menguasai Hadis-Hadis Ahkam dan Ilmu Hadis
Syarat selanjutnya ialah mujtahid mengetahui hadis-hadis yang berkaitan hukum Syari’at. Seorang mujtahid tidak harus menghafalkannya ia cukup mengetahuinya saja dan mengetahui tempat-tempatnya sehingga ia mampu mengambil rujukan dari tempatnya.
Tidak hanya itu mujtahid juga harus mengetahui ilmu-ilmu hadisnya sehingga ia mengetahui hadis dhaif, hadis maudhu’ dan mengetahui rawi-rawi yang memiliki cacat. Menurut Ibnu Arabi hadis-hadis yang menerangkan tentang hukum terdapat tiga ribu, sedangkan menurut Ahmad seribu dua ratus.
Menurut Syaukani seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab hadis induk seperti kitab hadis Shahih Bukhari, Shahih muslim, Sunan Abi Daud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah.
3. Menguasai Nasikh Mansukh
Seorang mujtahid harus mengetahui ayat-ayat dan hadis yang sudah di nasikh. Hal ini menjadi syarat agar mujtahid tidak mengambil dalil dari ayat dan hadis yang sudah di nasikh sehingga ia tidak fatal dalam ijtihadnya. Kitab-kitab yang menjelaskan tentang nasikh mansukh sudah banyak, kitab dapat di jadikan rujukan untuk mengetahui nasikh mansukh.
4. Mengetahui Ijma’
Syarat selanjutnya mujtahid harus mengetahui semua ijma’ yang sudah di buat oleh mujtahid-mujtahid, baik produk ijma’ mujtahid sebelumnya maupun hasil ijma’ mujtahid yang sekarang. Walaupun ijma’ harus di ketahui tetapi ijma’ tidak harus hafal, mengetahuinya saja sudah cukup.
Ijma’ ini harus di ketahui agar mujtahid dapat menghasilkan produk ijtihad yang tidak berbeda dengan ijma’ sebelumnya karena hal ini dapat mengakibatkan ijtihad yang tidak sah dan batal karena ijma’ adalah dalil syari’at yang qoth’i dan hukumnya kufur bagi orang yang menentangnya.
Menurut Imam Syafi’i seseorang tidak di perbolehkan berijtihad selama ia belum mengetahui hasil ijtihad mujtahid sebelumnya, baik yang berupa ijma’ maupun hasil ijtihad yang masih khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat antara ulama’).
5. Menguasai Teori Qiyas
Mujtahid juga harus mengetahui metode qiyas beserta syarat-syaratnya sebagaimana penjelasan sebelumnya. Selain itu mujtahid juga harus mengetahui ‘illat-’illat hukum dan metode istimbatul hukmi (metode penggalian hukum).
Qiyas menjadi syarat bagi mujtahid karena qiyas adalah bagian dari dalil dan sumber hukum syari’at yang keempat, di mana mujtahid harus menggunakan metode qiyas ini ketika ia sudah tidak menemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an dan hadis.
6. Menguasai Ilmu-Ilmu Gramatikal Bahasa Arab
Seorang mujtahid di syaratkan harus mengetahui ilmu-ilmu bahasa arab dari mulai nahwu, sharaf, badi’ bayan, uslub-uslub beserta makna-maknanya. Hal ini menjadi syarat mengingat Al-Qur’an dan hadis yang menjadi sumber utama hukum Islam menggunakan bahasa arab. Jika seorang mujtahid tidak dapat mengetahui ilmu-ilmu bahasa arab maka ia akan fatal karena ia tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dan hadis. Begitu juga ia tidak mampu memahami hukum-hukum Islam yang semuanya lahir dan menggunakan bahasa arab serta pada saat ini rujukan utama keislaman berpusat di arab dan menggunakan bahasa arab.
7. Menguasai Ushul Fiqih
Syarat selanjutnya bagi mujtahid, ia harus memiliki ilmu ushul fiqih. Ushul fiqih adalah metode-metode yang di gunakan untuk mengeluarkan hukum-hukum Syari’at.
Dengan menggunakan metode ini seorang mujtahid dapat melakukan ijtihadnya dan dapat mengeluarkan hukum mengingat metode ini adalah metode yang di susun oleh ulama untuk membuat hukum Syari’at.
Selain itu mujtahid juga harus mengetahui maqasid syari’ah, yaitu ilmu yang membahas tujuan-tujuan Syari’at.
Beberapa karya yang membahas tentang maqasid syariah sudah banyak di antaranya adalah kitab al-muwafaqat karya Asy-Syatibi yang di kenal sebagai bapak maqasid klasik sedangkan pada saat ini tokoh maqasid yang paling populer adalah Ibnu ‘Asyur yang juga di kenal sebagai bapak maqasid kontemporer.
Semua syarat-syarat mujtahid di atas adalah syarat-syarat mujtahid muthlaq. Sedangkan syarat-syarat mujtahid muqayyad atau mujtahid juz’i tidak harus menguasai syarat-syarat di atas, ia cukup mengetahui ilmu yang berhubungan dengan hal-hal yang di ijtihadinya saja seperti hal ekonomi, muamalah, jinayah, jihad, waris dan semacamnya sesuai yang ia ijtihadi dalam bidang keilmuan tertentu.
Sedangkan mujtahid mazhab maka ia juga tidak harus menguasai syarat-syarat di atas, ia cukup menguasai keilmuan mazhabnya saja, pendapat-pendapat mujtahid mazhabnya, ilmu ushul fiqih madzhabnya beserta dalil-dalil dan furu’-furu’nya (produk ijtihad mazhabnya).
Tahapan-Tahapan Dalam Ijtihad
Tahapan-tahapan dalam melakukan ijtihad menurut Imam Syaukani adalah mujtahid harus mengambil hukum dari nash Al-Qur’an dan hadis, menurut Imam Ghazali harus mendahulukan Al-Qur’an terlebih dahulu, lalu hadis mutawatir, lalu hadis ahad. Jika tidak menemukan hukum dari nash Al-Qur’an dan hadis maka ia mengambil dari dhahir Al-Qur’an dan hadis dengan manthuq mafhumnya. Jika tidak menemukannya kembali maka ia mengambil hukum dari perbuatan-perbuatan Rasulullah kemudian taqrir Rasulullah Saw. Jika tidak menemukan kembali maka ia mengambil hukum dari ijma’. Sebelum hal tersebut di lakukan maka mujtahid tidak boleh berpindah ke qiyas. Kemudian jika mujtahid masih belum menemukan hukumnya maka ia menggunakan qiyas. Menurut Imam Ghazali dalam melakukan qiyas mujtahid harus menjaga kaidah kuliahnya (maqasid syari’ah).
Wahbah Zuhaili merumuskan langkah-langkah ijtihad lebih detail lagi sebagaimana penjelasan berikut ini:
Pertama, Mujtahid merujuk kepada dalil qoth’i, yaitu mencari hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadis yang memiliki dilalah qoth’i. Ketika mujtahid menemukan hukumnya maka mujtahid harus menggunakan hukum tersebut dan memberikan fatwa dengan hukum tersebut.
Kedua, jika hukum tersebut tidak di temukan maka ia baru merujuk kepada hukum dari Al-Qur’an dan hadis yang memiliki dilalah dhanni dan sesuai dengan ijma’, jika tidak di temukan hukum yang sesuai dengan ijma’ maka ia mengambil hukum yang sesuai dengan pendapat sahabat. Jika tidak di temukan hukum yang sesuai dengan pendapat sahabat maka mengambil hukum yang sesuai dengan mujtahid sebelumnya.
Ketiga, jika hukum-hukum tersebut tidak di temukan maka ia menggali maqasid syari’ah dan ‘illat-’illat dari Al-Qur’an dan hadis untuk di terapkan kepada permasalahan yang sedang di cari hukumnya.
Keempat, jika hal tersebut tidak di temukan maka mujtahid mengumpulkan ayat-ayat, hadis, pendapat-pendapat ulama’ yang semuanya berhubungan dengan permasalahan yang sedang di gali hukumnya. Lalu ia mengambil kesimpulan hukum yang sesuai dengan hukum Allah serta melakukannya dengan ikhlas, tidak ceroboh dan tidak fanatik. Tujuannya agar hasil ijtihadnya sesuai dengan kehendak Allah dan hasil ijtihadnya harus di amalkan dan di jadikan fatwa.
Refrefsi:
1. Abdul Karim Bin Namlah. Al-Muhadzab Fil Ilmi Ushulul Fiqih Al-Muqaran. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyid, 1999. 2. Al-Ghazali, Abu Hamid. Mustashfa. Bairut Libanon: Dar al-Kutub al-’Ilmiah, 2010. 3. Al-Zuhaili, Muhamad Musthofa. Al-Wajiz Fi Ushul Fiqhi Al-Islami. Siria: Dar Al-Khair Lithaba’ah Wan Nasyr, 2006. 4. Asy-Syaukani. Irsyadu Al-Fuhul. Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1999. 5. Hasan, Muhammad Bin Husain Bin. Ma’alim Ushul Fiqih. Daru Ubnul Juzi, n.d. 6. Yusuf, Abdullah Bin. Taisir Ilmu Ushul Fiqih. Bairut Libanun: Muassisah Ar-Rayan, 1997.
Respon (2)